InfoSAWIT KALIMANTAN, JAKARTA — Sawit kerap disebut sebagai “emas hijau” Indonesia. Ia menggerakkan ekonomi desa, menyerap jutaan tenaga kerja, dan menopang ekspor nasional. Namun, di balik sumbangsih besar itu, masih ada cerita lain—tentang ketimpangan, konflik lahan, dan pekerja yang belum sepenuhnya terlindungi.
Data Komnas HAM tahun 2023 menunjukkan bahwa dari berbagai sektor, perkebunan menjadi salah satu penyumbang aduan terbanyak masyarakat. Persoalan yang muncul berulang: sengketa tanah antara perusahaan dan warga, kondisi kerja yang tidak layak, serta dampak lingkungan yang memicu hilangnya sumber penghidupan.
Kondisi ini mencerminkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum selalu identik dengan kesejahteraan sosial. Banyak pihak menilai, sudah saatnya industri sawit menata ulang model bisnisnya agar lebih berkeadilan.
Upaya perbaikan sesungguhnya telah dimulai. Beberapa perusahaan besar mulai mengadopsi kebijakan HAM, menerapkan uji tuntas (human rights due diligence), serta membuka jalur pengaduan bagi masyarakat. Namun, langkah ini masih sporadis dan belum merata, terutama di tingkat perkebunan rakyat.
Menurut pakar keberlanjutan, konsistensi pelaku usaha dan peran aktif pemerintah daerah menjadi kunci. “Sawit berkelanjutan tidak hanya bicara sertifikasi atau produktivitas, tapi juga cara memperlakukan manusia di dalamnya,” ujarnya.
Ke depan, harmonisasi antara ekonomi, sosial, dan lingkungan harus menjadi wajah baru industri sawit Indonesia. Sebab, hanya dengan menghormati hak manusia dan menjaga alam, kilau emas hijau itu akan tetap bersinar di pasar dunia. (*)






