Penguatan Kelembagaan dan Legalitas: Kunci Kemandirian Petani Sawit Swadaya

oleh -225 Dilihat
oleh
InfoSAWIT Kalimantan
Dok. InfoSAWIT/ Marselinus Andry dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) (kedua dari kiri), pada Acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 16, bertajuk “Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menumbuhkan Ekonomi Masyarakat Perdesaan”, yang diadakan media InfoSAWIT yang didukung BPDPKS, Jumat (1/11/2024) di Jakarta.

InfoSAWIT KALIMANTAN, JAKARTA – Marselinus Andry dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyoroti tantangan yang dihadapi petani sawit skala kecil di Indonesia, terutama terkait legalitas lahan dan posisi tawar dalam rantai pasok. Dengan banyaknya petani yang hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT), posisi mereka dalam industri sawit menjadi rentan. Untuk mengatasi masalah ini, SPKS berupaya memperkuat hak kepemilikan petani melalui pendataan dan sertifikasi lahan yang lebih sistematis.

Ia menjelaskan lima tahapan yang diinisiasi oleh SPKS. Tahap pertama melibatkan pendataan dan pemetaan kebun sawit menggunakan teknologi GPS dan smartphone. Data yang dikumpulkan tidak hanya memberikan gambaran tentang sebaran lahan sawit rakyat, tetapi juga membantu dalam analisis legalitas lahan dan produktivitas.

Setelah pendataan, SPKS mendampingi petani dalam mengurus legalitas lahan, termasuk pembuatan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang penting untuk kepemilikan formal. Marselinus menekankan pentingnya kelembagaan seperti koperasi untuk memperkuat posisi tawar petani. “Koperasi dapat menjadi wadah bagi petani untuk berkolaborasi dan berbagi sumber daya,” katanya pada acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 16, bertajuk “Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menumbuhkan Ekonomi Masyarakat Perdesaan,” yang diselenggarakan oleh media InfoSAWIT yang didukung BPDPKS, pada Jumat (1/11/2024) di Jakarta.

BACA JUGA: PLTU Sintang Buktikan Pelet Tandan Kosong Sawit Bisa Jadi Pembangkit Listrik

Pelatihan teknis dan manajemen kelembagaan juga menjadi fokus utama dalam mendukung petani. SPKS bekerja sama dengan akademisi untuk menyediakan materi pelatihan yang dapat meningkatkan kapasitas petani dalam mengelola ekonomi dan memahami hukum. Pelatihan ini diharapkan dapat memfasilitasi petani dalam berpartisipasi secara aktif dalam koperasi atau lembaga yang mereka bentuk.

Sertifikasi keberlanjutan, seperti RSPO, menjadi tujuan jangka panjang bagi koperasi yang dibentuk. Marselinus mengungkapkan bahwa SPKS telah membantu beberapa koperasi memperoleh sertifikasi, dengan target koperasi di Sulawesi untuk mendapatkan sertifikasi tahun ini. “Sertifikasi ini akan memberikan akses pasar yang lebih baik bagi petani,” jelasnya.

SPKS juga menerapkan metode konservasi untuk mendukung sertifikasi berkelanjutan dan melestarikan hutan. Dukungan pemerintah dan kolaborasi dengan perusahaan sawit sangat penting dalam menghadapi tantangan yang ada, terutama dalam hal akses legalitas dan peningkatan kapasitas petani.

BACA JUGA: Sejarah Sawit di Pulau Kalimantan Berasal dari Tahun 1858 Saat Penjajahan Belanda

Dalam konteks yang lebih luas, Nugroho Kristono, Direktur Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (CWE), menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan dalam membangun sumber daya manusia (SDM) di sektor kelapa sawit. CWE berperan sebagai pusat pelatihan yang andal, dengan 970 mahasiswa, sebagian besar berasal dari keluarga petani sawit. Nugroho berharap lulusan politeknik dapat kembali ke daerah asal mereka dan berkontribusi dalam pengembangan sektor sawit lokal.

Dengan langkah-langkah konkret dalam penguatan legalitas dan kelembagaan, petani sawit skala kecil diharapkan dapat meningkatkan daya saing mereka, sehingga berkontribusi pada keberlanjutan sektor kelapa sawit di Indonesia dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). (T2)